Rabu, 07 Agustus 2019

DASAR-DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG MANUSIA MENURUT EKSISTENSIALISME

DASAR-DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG MANUSIA MENURUT EKSISTENSIALISME
Siti Nurul Hermawati
(BKI / V / C)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Abstrak
Salah satu yang dikaji dalam ilmu filsafat adalah manusia. Banyak pemikiran filsafat yang membahas tentang manusia diantaranya teori eksistensialisme. Dasar-dasar pemikiran filsafat tentang manusia menurut teori eksistensialisme ini seperti kesadaran diri, kebebasan, tanggungjawab, kecemasan, dan peciptaan makna. Teori ini menjelaskan arti keberadaan manusia yang sesungguhnya di dunia. Tentunya hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan proses bimbingan dan konseling agar konselor dan konseli memahami posisinya sebagai manusia. Filsafat tentang manusia menurut eksistensialisme ini juga di bahas dalam Islam. Banyak ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan teori Eksistensialisme. Dalam layanan bimbingan dan konseling juga diterapakan teori  ini karena banyak kasus yang dapat diselesaikan dengan merujuk pada filsafat eksistensialisme yang tentunya sudah jelas tujuan dan teknik konselingnya.
Kata Kunci:
Eksistensialisme, Konseling, Bimbingan, Filsafat, Humanistik
A.  Pendahuluan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna di bandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya, yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya yaitu manusia memiliki akal untuk berfikir. Dalam berfilsafat manusia menggunakan akalnya untuk berfikir dan sekaligus sebagai salah satu objek dalam kajian filsafat. Objek kajian filsafat itu sendiri meliputi, yang ada wujudnya dan yang abstrak untuk mencari suatu kebenaran. Filsafat tidak terlepas dari eksistensialisme yaitu sebuah aliran filsafat yang memandang sesuatu dengan berdasar pada eksistensinya. Contohnya, manusia dilihat keberadaanya di dunia.
Filsafat Eksistensialisme itu sendiri memandang manusia dari segi keberadaannya yang menekankan posisi penting dalam diri seseorang, dan itu perlu diketahui oleh calon konselor untuk menunjang kelancaran proses konseling. Adapaun yang berhubungan dengan eksistensialisme itu sendiri seperti kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan.
Berangkat dari hal tersebut, maka perlu diketahui tentang pengertian, objek, metode, dan struktur pembahsan filsafat, ruang lingkup filsafat bimbingan dan konseling menurut teori eksistensialisme, pendekatan filsafat eksistensialisme Islami, dan ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pendekatan filsafat manusia berdasarkan teori eksistensialisme.
B. Pengertian, Objek, dan  Metode Filsafat Eksistensialisme
1.        Pengertian Filsafat Eksistensialisme
Istilah eksistensi  berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh keluar. Dengan istilah ini, para eksistensialis hendak mengatakan bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi, mekanisme, atau pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sesuatu yang “mengada” (Hambali dan Jaenudin, 2013:203).
Filsafat Eksistensialisme adalah pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang didasarkan pada pemahaman filosofis tentang apa makna menjadi manusia, dan apa makna keberadaannya (Palmer, 2011:123).
Hakikat tentang manusianya adalah bahwa dari waktu ke waktu, diri yang baru muncul, tiap pengalaman baru menempatkan kita di tempat yang berbeda dan kita tidak pernah bisa persis sama dengan kita di waktu sebelumnya (Palmer, 2011:126).
2.       Objek Filsafat Eksistensialisme
Pendekatan terapi Eksistensial bisa dikemukakan bahwa semua orang cocok dengan pendekatan ini karena kita semua menghadapi kodrat eksistensi yang sama. Pendekatan eksistensi secara potensial berguna bagi semua orang (Palmer, 2011:137).
Jadi, objek dalam kajian filsafat eksistensialisme hubungannya dengan terapi konseling dan psikoterapi adalah konseli yang mencoba untuk berusaha memaksimalkan keberadaan (eksistensi) dirinya dengan mengeksplorasi potensi yang ada padanya.
3.      Metode Filsafat Eksistensialisme
Dalam kajian filsafat eksistensialisme, para filsuf eksistensial mengadopsi metode fenomenologis yang pertama kali dideskripsikan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Sederhananya, metode ini tidak menganggap semua hal bisa diterima begitu saja, tetapi semua hal perlu dipertanyakan.
Para konselor eksistensial juga mengadopsi metode fenomenologis dalam pendekatan mereka pada konseling dan psikoterapi. Mereka akan berupaya menyampingkan prasangka dan teori tentang teman sesama manusia mereka, tentang hal yang membuat konseli terganggu dan apa yang terbaik baginya. Dengan begitu, konselor tetap menyediakan bagi konseli suatu cara sedemikian rupa sehingga konselor bisa mendengar keprihatinan konseli dari perspektif konseli ketimbang perspektif mereka. Dengan hanya tetap bersama apapun yang ditunjukan konseli, dengan feenomena, dan tidak mencari penyebab atau penjelasan, konselor dan konseli secara perlahan akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang pengalaman konseli (Palmer, 2011:134).
C. Tokoh Teori Filsafat Eksistensialisme
1.        Soren Aabye Kiekeegaard (1844-1900)
Sebagai bapak filsafat eksistensialisme yang memberikan pengaruh besar terhadap munculnya filsafat eksistensialisme di abad ke-20. Karya-karyanya yang belum masyhur di abad ke-19 karena ia menulis dalam bahasa Denmark yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Jerman dan dikenal oleh banyak orang setelah kewafatannya. Pada inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekanan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan (Abidin,2000:45).
2.        Karl Jaspers (1883-1969)
Ia mengatakan bahwa fisafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi (Abidin, 2000:47).
3.        Martin Heidegger (1889-1976)
Merupakan seorang pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemkiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”. Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada  diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka (Abidin, 2000:49).
4.        Jean Paul Sartre (1905-1980)
Ia adalah seorang atheis yang memiliki paham eksistensialis. Jika cara berfikir Soren Aabye Kierkegaard masih kental dengan cara berfikir seorang kristen maka, cara berfikir Jean Paul Sarte merupakan cara berfikir seorang atheis. Tidak heran lagi jika dalam pemikirannya Sarte menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Jika dalam pencitaan  sesuatu maka kita perlu menciptakan konsep yang merupakan esensi dari benda tersebut dan benda yang sudah diciptakan tersebut kita sebut sebagai eksistensi. Karena Sarte merupakan seorang atheis maka dalam pandangannya tidak ada yang menciptakan manusia dan tidak ada yang mengkonsep manusia sebelum mereka diciptakan karena Tuhan menurut Sarte adalah “tidak ada” (Abidin, 2000:50).
Dan pemikirannya menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri (Surajiyo, 2005:124).
D. Struktur Pembahasan Filsafat Eksistensialisme
1.        Konsep Dasar Filsafat Eksistensialisme
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Abraham Maslow yang terkenal dengan teori aktualisasi diri di lahirkan di  New York pada tahun 1908. Ia meninggal di Calivornia pada tahun 1970. Maslow seorang anak yang pandai mejalani hubungan yang baik dengan ibunya yang otoriter yang sering kali melakukan tindakan aneh. Ia menggambarkan dirinya pada masa kecil sebagai seorang yang pemalu, kutu buku dan neurotic. Tetapi, Maslow tidak selamanya menjadi neurotic dan benci pada dirinya sendiri. Ia sepenuhnya menyadari potensinya, dan menjadi psikilog humanisme terkenal yang mengispirasi banyak perubahan masyarakat kearah yang positif. Dalam mengembangkan teorinya,psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”.
Pendekatan ini melihat kejadian bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistic biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Psikologi eksistensial humanistic berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih–alih suatu system teknik–teknik  yang digunakan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi–terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep–konsep dan asumsi–asumsi tentang manusia.
Teori dan Pendekatan Konseling Eksistensial-Humanistic berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Pendekatan Eksistensial-Humanistic dalam konseling menggunakan sistem teknik-teknik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli.
Pendekatan terapi Eksistensial-Humanistic buka merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang semuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Pendekatan ini Berfokus pada sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab, kecemasan sebagai suatu unsur dasar, pencarian makna yang unik di dalam dunia yang tak bermakna, berada sendiri dan berada dalam hubungan dengan orang lain keterhinggaan dan kematian, dan kecenderungan mengaktualkan diri. Pendekatan ini memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi, yakni tentang penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain dalam proses teurapeutik.
Terapi eksistensial-humanistic menekankan kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan kesadaran diri sebelum bertindak. Kesadaran diri berkembang sejak bayi. Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan masing-masing individu. Berfokus pada saat sekarang dan akan menjadi apa seseorang itu, yang berarti memiliki orientasi ke masa depan.
Maka dari itu, akan lebih meningkatkan kebebasan konseling dalam mengambil keputusan serta bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang di ambilnya (Corey (2005: 53-54).
Menurut Gerald Corey, (2005:54-55) ada beberapa konsep utama dari pendekatan eksistensial yaitu :
a.         Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.
Kesanggupan untuk memilih alternatif–alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.

b.        Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi–potensinya.

c.         Penciptaan Makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.
2.        Hakekat Manusia
Fokus yang sekarang menjadi arah pendekatan eksistensial adalah rasa kesendirian di dunia dan usaha menghadapi kecemasan akan isolasi ini. Daripada berusaha untuk mengembangkan aturan-aturan bagi terapi, maka sebagai gantinya para praktisi eksistensial berusaha keras untuk memahami pengalaman manusia yang dalam ini.
Pandangan eksistensial akan sifat manusia ini sebagian dikontrol oleh pendapat bahwa signifikansi dari keberadaan kita ini tak pernah tetap, melainkan kita secara terus menerus mengubah diri sendiri melalui proyek-proyek kita. Manusia adalah makhluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu.
Menjadi seseorang berarti pula bahwa kita menemukan sesuatu dan menjadikan keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar (Abidin, 2000:133).

E. Ruang Lingkup Filsafat Eksistensialisme dan Hubungannya dengan Bimbingan Dan Konseling
1.        Hakikat Konseling
Hakikat konseling eksistensial-humanistic menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Eksistensial-humanistic berdasarkan pada asumsi bahwa kita bebas dan bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan. Yang paling diutamakan dalam konseling eksistensial-humanistic adalah hubunganya dengan konseli. Kualitas dari dua orang yang bertatap muka dalam situasi konseling merupakan stimulus terjadinya perubahan yang positif (Rahmasari, 2012:35).
2.        Tujuan Konseling
Menurut Gerald Corey, (2005:56) ada beberapa tujuan terapeutik yaitu :
Agar konseli mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi–potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”.

a.         Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik :
1)      Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
2)      Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan
3)      Memikul tanggung jawab untuk memilih.
b.         Meluaskan kesadaran diri konseli, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
Membantu konseli agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan-kekuatan deterministic di luar dirinya.
3.        Karakteristik Konseling
Adapun karakteristik dari terapi eksistensial humanistic adalah sebagai berikut:
a.         Eksistensialisme bukanlah suatu aliran melainkan suatu gerakan yang memusatkan penyelidikannya manusia sebagai pribadi individual dan sebagai ada dalam dunia (tanda sambung menunjukkan ketidak terpisahan antara manusia dan dunia).
b.         Adanya dalil-dalil yang melandasi yaitu:
1)      Setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia.
2)      Manusia sebagai pribadi tidak bisa dimengerti ddalam kerangka fungsi-fungsi atau  unsur-unsur yang membentuknya.
3)      Bekerja semata-mata dalam kerangka kerja stimulus respons dan memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi seperti penginderaan, persepsi, belajar, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan tingkah laku emosional tidak akan mampu memberikan sumbangan yang berarti kepada pemahaman manusia (Nurihsan, 2003:98).
F. Pandangan Islam tentang Eksistensi Manusia
An-Nahlawi (1996:37-46) dalam Neiviyarni (2009:42-48) mengemukakan bahwa manusia menurut pandangan Islam sesuai dengan hakikatnya, dapat dipahami dari aspek-aspek berikut.
1.             Asal-usul penciptaan manusia
Manusia bersumber dari dua asal, yaitu: (1) asal yang ‘jauh’,  penciptaan pertama dan tanah yang kemudian disempurnakan dan ditiupkan ruh-Nya kepada manusia tersebut; (2) asal yang ‘dekat’, penciptaan manusia dari nuthfah. Untuk menjelaskan kedua asal tersebut Allah berfirman dalam Al-Qur’an, diantaranya:
a.       Q.S As-Sajdah (32): 7-9
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِين ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (٨) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (٩) {السجدة ٩­٧}
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Depag, 2004:415).
b.      Q.S Al-Mukminun (23): 12-14
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ(۱۲(ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
 ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ  
{المؤمنون: ١٢­١٤}
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.emudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik” (Depag, 2004:342).
c.       Q.S Az-Zumar (39): 6
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الأنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ(٦) {الزمر: ٦}
 “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (Depag, 2004:459).
Dalam Al-Qur’an pandangan manusia diarahkan pada kehinaan, hal ini ditujukan untuk menghancurkan kecongkakan manusia dan melemahkan ketakaburannya, sehingga dia benar-benar tawadhu dalam kehidupannya.

2.              Makhluk yang dimuliakan
Manusia dianugerahi Allah dengan kemampuan yang dapat digunakannya untuk menguasai alam semesta  demi kemaslahatan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Q.S Al-Isra’ (17): 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (٧٠) {الإسراء:٧٠ }
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Depag, 2004:282).


b.      Q.S Al-Hajj (22): 65
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الأرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
{الحج:٦٥ }
 “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (Depag, 2004:340).
3.             Makhluk Istimewa dan Terpilih
Allah memberikan kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk, dan kemampuan memilih kepada manusia. Manusia diberi kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan dan keburukan, sehingga mampu memilih jalan mengantarkannya pada kebaikan dan kebahagiaan, atau jalan yang membawanya pada kebinasaan. Manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan, dan meninggikan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan. Sesuai dengan firman Allah dalam Al_Qur’an Q.S Asy-Syams (91): 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(٧) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(٨) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(١٠) {الشمس:١٠–٧}
 “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Depag, 2004:595).
4.             Makhluk yang Dapat Dididik
Manusia dibekali Allah dengan kemampuan untuk belajar dan memiliki pengetahuan, serta menganugerahinya dengan berbagai sarana untuk itu. Seperti penglihatan, pendengaran, bahasa, berpikir dan menulis. Dengan akal dan hatinya manusia mengolah alam untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya:
a.       Q.S Al-Baqarah (2): 31-32
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(۳۱) قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
٣۱}-{البقرة: ۳۲  (۳۲) الْحَكِيمُ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Depag, 2004:6).
b.     Q.S Al-A’raf (7): 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(۱۷۹) {الأعراف:١٧٩ }
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” (Depag, 2004:174).
5.             Tanggung Jawab Manusia
Sesuai dengan kemuliaan, keunggulan, dan keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, manusia pun dibebani tanggung jawab yang disertai balasan yang setimpal. Menurut ajaran Islam, manusia diberi tanggung jawab untuk menerapkan syariat Allah dan menjadi hamba-Nya. Rasa tanggung jawab an terpelihara dalam diri manusia yang sadar, selalu ingat, adil, tidak menyeleweng, tidak tunduk pada hawa nafsu, jauh dari kezalimandan kesesatan, istiqamah dalam berperilaku. Manusia juga diminta bertanggung jawab atas harta, umur, dan kemuliaannya.
Sesuai dengan firman allah dalam Al-Qur’an Q.S Al-Ahzab (33): 72-73
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا(۷۲)  لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(۷۳) {الأحزاب: ٧۳–٧۲}
 “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Depag, 2004:427).

6.             Tugas Tertinggi Manusia, Beribadah Kepada Allah
Beribadah kepada Allah merupakan tugas manusia dalam hidup. Manusia sesungguhnya tidak berarti apa-apanya dihadapan Allah, dan manusia bertanggung jawab untuk merendahkan diri dengan cara selalu beribadah kepada-Nya. Semakin merendahkan diri dan semakin bertakwa  kepada Allah, dia akan dapat karamah dari Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Adz-Dzariyat (51): 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ(٥٦) {الذاريات:٥٦ }
 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Depag, 2004:523).
G. Teknik Eksistensialisme dalam Layanan BK
Contoh Kasus :
1. Ini adalah sebuah kasus tentang eksistensial yang menggambarkan perjuangan seorang wanita dengan kesadaran dan kebebasan serta tanggung jawab dan kecemasan yang dirasakannya ketika ia membuat keputusan-keputusan sehari-sehari yang menyangkut cara yang diinginkan dalam mengarungi kehidupannya.
Ia sekarang sering sekali menemukan dirinya bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan, siapa sesungguhnya dirinya dan bagaimana sesungguhnya perasaan yang dia rasakan. Emosi-emosi tidak mudah mucul, bahkan juga sekarang.perasaan-perasaan cinta dan benci adalah sesuatu yang baru baginya, dan sering sangat menakutkan. Sering ia menemukan kesulitan untuk bisa mendamaikan diri dengan fakta bahwa suatu saat ia bisa kehilangan orang-orang yang ia kasihi, tetapi kemudian ia menginginkan mereka pergi. Ketidakkonsistenan dan pertentangan antara kebergantungan dengan kemandirian ini setiap kali membuat ia bingung. Kadang kala ia berpikir bahwa akan lebih baik jika ia secara emosional tetap mati seperti dulu. Setidaknya ia tidak merasa begitu skait. Akan tetapi, ia juga tahu jika demikian, ia pun tidak benar-benar hidup.
Ia mengaku bahwa hari ini ada seorang pria yang memeluknya, dan ia sejenak merasa sangat hangat dan nyaman. Ia menyukai perasaan itu, tetapi juga takut. Perasaan itu begitu asing bagi ia. Ia ingin menaruh kepercayaan, tetapi sangat sulit untuk melakukannya. Barangkali halite disebabkan oleh adanya unsure resiko yang tgerlibat dalam hubungan, dan ia tetap tidak mau mendengarkan dirinya menerima resiko itu. Ia khawatir apakah ia akan mampu mengatasi segenap luka dan kekecewaan masa lalu serta belajar hidup untuk hari ini.
Kadang-kadang, ketika ia merasa sepi dan kehilangan, ia mencoba membayangkan, apa jadinya jika ia tidak pernah menjalani konseling, jika ia tidak pernah memperoleh pemahaman diri seperti yang sekarang ia miliki. Atau apa jadinya jika ia secara ajaib bisa kembali ke tahap awal dari pertumbuhan emosional ketika ia merasa terancam, dan mampu menetap disana. Maka ia tidak akan melihat keindahan dunia nantinya, tidak akan mengetahui keberhasilan, juga tidak akan banyak memiliki kedamaian pikiran,tetapi ia akan merasa lebih aman.ia mengaku bahwa tekanan-tekanan yang dulumpernah ia rasakan tidak ada lagi dalam kehidupannya.
Meskipun terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal, dikalangan konselor eksistensial dan humanistic ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab konselor. Menurut Buhler dan Allen, para ahlimpsikologi humanistic memilih orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
a. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
b. Menyadari peran dari tanggung jawab konselor.
c. Mengakui sifat timbale balik dari hubungan terapeutik.
d. Berorientasi pada pertumnuhan.
e. Menekankan keharrusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu
pribadi yang menyeluruh.
f. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di
tangan konseli.
g. Memandang konselor sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan
gaya hidup dan pandangan humanisticnya tentangmanusia bisa secara implicit menunjukkan kepada konseli potensi bagi tindakan kreatif positif.
h. Mengakui kebebasan konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk
menegmbangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
i. Bekerja kearah mengurangi kebergantungan konseli serta meningkatkan
kebebasan konseli (Corey, 2005:60).

2. Adapun contoh kasus pada zaman sekarang, penulis mengambil contoh seperti berikut.
Seseorang yang masa kecilnya merasa kurang kasih sayang dari orang tua. Keadaan psikis nya tanpa disadari tertekan. Kemudian ia sering merasa dibedakan dengan lingkungan sekitar. Seiring berjalannya waktu, iya pun beranjak remaja. Sampai remaja pun perasaan itu selalu terbawa. Namun disadarkan oleh konselor kepada keadaan dirinya seperti apa. Untungnya ia tidak terjerumus pada hal-hal negatif. Kemudian untuk mengaktualisasikan dirinya, ia sadar kelebihan dan kekurangan dirinya. Action nya sekarang ia mempunyai motivasi tinggi untuk meraih cita-citanya. Realisasinya, ia merencanakan apa yang akan ia kerjakan saat ini, besok, jangka pendek, jangka menengah, sampai jangka panjang. Rencana tersebut disusun sesuai bakat dan minat yang ada pada dirinya sesuai dengan cita-citanya.
Dalam layanan Bimbingan dan Konseling, pemikiran eksistensial adalah bahwa kita selalu berada dalam hubungan, kita hidup daalam ‘dunia dengan’. Dengan kata lain, semua yang kita lakukan, katakan ,dan rasakan selalu terjadi dalam relasi dengan orang lain. Pemahaman ini membuat kita mengakui bahwa di segala interaksi ,kita selalu mempengaruhi.
Ketika konselor dan konseli bertemu, mereka menjadi diri mereka dalam hubungannya satu sama lain. Yang diungkapkan konseli kepada seorang konselor tidak selalu sama dengan pengungkapan mereka pada konselor lain. Begitu juga dengan respons konselor dalam hubungannya dengan konseli tertentu. Penekanan pada saling keterhubungan ini berarti bahwa kita tidak dipandang memiliki dunia internal yang tetap dalam kepala kita, namun lebih sebagai orang yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain ,siapa diri kita disaat tertentu tidak bersemayam didalam diri individu, namun ada ‘diantara’, antara kita dan orang lain, disitulah terjadinya relasi (Palmer, 2011: 135).
Dalam kerangka filosofi eksistensial, tiap konselor bertanggung jawab mengembangkan gaya kerja mereka sendiri. Terapi eksistensial selalu menyerahkan kepada konseli untuk menentukan agenda setiap sesi konseling. Konselor memberi konseli ruang dimana konseli bisa mengeksplorasi pengalamannya. Konselor akan berupaya mengembangkan kepercayaan dan hubungan yang saling peduli dimana konseli merasa cukup aman untuk mengungkapkan dirinya. Usaha konselor untuk menemukan sesuatu tentang seperti apa kehidupan itu bagi konseli, untuk mendapatkan kedekatan dengan pengalaman konseli. Konselor menyampingkan ide apapun yang dipunyainya tentang hal apa yang baik bagi konseli, karena konselilah yang memutuskan segala perubahan (Palmer, 2011: 136-137).
H. Simpulan
Dengan demikian Filsafat Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertangguang jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Eksistensialisme mempersoalkan kebearadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan. Filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang muncul pada abad ke-19 dan masyhur di abad ke-20. Sebab kemunculan filsafat yang satu ini diakibatkan oleh ketidakpuasan para eksistensialis terhadap paham Materialisme, Idealisme juga dikarenakan keadaan Eropa Barat pada saat itu. Mendobrak paham Materialisme yang memandang kejasmanian sebagai keseluruhan manusia, sedangkan jasmani hanyalah merupakan bagian dari manusia tanpa memperdulikan bahwa manusia berfikir dan berkesadaran. Maka, paham eksistensialisme hadir sebagai jalan keluar dan penengah antara keduanya. Filsafat eksistensialisme menyatakan bahawa manusia merupakan obyek dan juga subjek.
Dan dalam layanan BK Pemikiran eksistensial adalah bahwa kita selalu berada dalam hubungan, kita hidup daalam ‘dunia dengan’. Dengan kata lain, semua yang kita lakukan ,katakan ,dan rasakan selalu terjadi dalam relasi dengan orang lain. Pemahaman ini membuat kita mengakui bahwa di segala interaksi ,kita selalu mempengaruhi.
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. (2000). Filsafat Manusia , Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: Refika  Aditama
Departemen Agama RI. ( 2004). Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung:  CV J-Art
Hambali, Adang. (2013). Psikologi Kepribadian (lanjutan), Bandung: Pustaka Setia
Hartono,Soedarmadji. (2012). Psikologi Konseling Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Neviyarni. (2009). Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah Fil-Ardh, Bandung: Alfabeta
Nurihsa, Juntika. (2003). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Bandung :Mutiara
Palmer, Stephen. (2011). Konseling dan Psikoterapi , Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahmasari,Diana.(2012). Peran Filsafat Eksistensialisme terhadap Terapi Eksistensial Humanistic untuk Mengatasi Frustasi Eksistensial Volume 2 Nomor 2
Surajiyo, Drs. (2005). Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar), Jakarta: Bumi Aksara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar