DASAR-DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG MANUSIA MENURUT EKSISTENSIALISME
Siti Nurul Hermawati
(BKI / V / C)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Abstrak
Salah
satu yang dikaji dalam ilmu filsafat adalah manusia. Banyak pemikiran filsafat
yang membahas tentang manusia diantaranya teori eksistensialisme. Dasar-dasar
pemikiran filsafat tentang manusia menurut teori eksistensialisme ini seperti
kesadaran diri, kebebasan, tanggungjawab, kecemasan, dan peciptaan makna. Teori
ini menjelaskan arti keberadaan manusia yang sesungguhnya di dunia. Tentunya
hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan proses bimbingan dan konseling agar
konselor dan konseli memahami posisinya sebagai manusia. Filsafat tentang
manusia menurut eksistensialisme ini juga di bahas dalam Islam. Banyak
ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan teori Eksistensialisme. Dalam layanan
bimbingan dan konseling juga diterapakan teori
ini karena banyak kasus yang dapat diselesaikan dengan merujuk pada filsafat
eksistensialisme yang tentunya sudah jelas tujuan dan teknik konselingnya.
Kata Kunci:
Eksistensialisme, Konseling, Bimbingan, Filsafat, Humanistik
A.
Pendahuluan
Pada dasarnya
manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna di bandingkan dengan makhluk
Allah yang lainnya, yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya yaitu
manusia memiliki akal untuk berfikir. Dalam berfilsafat manusia menggunakan
akalnya untuk berfikir dan sekaligus sebagai salah satu objek dalam kajian
filsafat. Objek kajian filsafat itu sendiri meliputi, yang ada wujudnya dan
yang abstrak untuk mencari suatu kebenaran. Filsafat tidak terlepas dari eksistensialisme
yaitu sebuah aliran filsafat yang memandang sesuatu dengan berdasar pada
eksistensinya. Contohnya, manusia dilihat keberadaanya di dunia.
Filsafat Eksistensialisme
itu sendiri memandang manusia dari segi keberadaannya yang menekankan
posisi penting dalam diri seseorang, dan itu perlu diketahui oleh calon
konselor untuk menunjang kelancaran proses konseling. Adapaun yang berhubungan
dengan eksistensialisme itu sendiri seperti kesadaran religius seperti
iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan.
Berangkat dari hal tersebut, maka perlu diketahui tentang
pengertian, objek, metode, dan struktur pembahsan filsafat, ruang lingkup
filsafat bimbingan dan konseling menurut teori eksistensialisme,
pendekatan filsafat eksistensialisme Islami,
dan ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pendekatan filsafat manusia
berdasarkan teori eksistensialisme.
B. Pengertian, Objek, dan
Metode Filsafat Eksistensialisme
1.
Pengertian Filsafat Eksistensialisme
Istilah eksistensi berasal
dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau
tumbuh keluar. Dengan istilah ini, para eksistensialis hendak mengatakan
bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi,
mekanisme, atau pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sesuatu
yang “mengada” (Hambali dan Jaenudin, 2013:203).
Filsafat Eksistensialisme adalah pendekatan terhadap konseling dan
psikoterapi yang didasarkan pada pemahaman filosofis tentang apa makna menjadi
manusia, dan apa makna keberadaannya (Palmer, 2011:123).
Hakikat tentang manusianya adalah bahwa dari waktu ke waktu, diri yang
baru muncul, tiap pengalaman baru menempatkan kita di tempat yang berbeda dan
kita tidak pernah bisa persis sama dengan kita di waktu sebelumnya (Palmer,
2011:126).
2.
Objek Filsafat Eksistensialisme
Pendekatan terapi Eksistensial bisa dikemukakan bahwa semua orang
cocok dengan pendekatan ini karena kita semua menghadapi kodrat eksistensi
yang sama. Pendekatan eksistensi secara potensial berguna bagi semua
orang (Palmer, 2011:137).
Jadi, objek dalam kajian filsafat eksistensialisme hubungannya
dengan terapi konseling dan psikoterapi adalah konseli yang mencoba untuk
berusaha memaksimalkan keberadaan (eksistensi) dirinya dengan mengeksplorasi
potensi yang ada padanya.
3.
Metode Filsafat Eksistensialisme
Dalam kajian filsafat eksistensialisme, para filsuf eksistensial
mengadopsi metode fenomenologis yang pertama kali dideskripsikan oleh Edmund
Husserl (1859-1938). Sederhananya, metode ini tidak menganggap semua hal bisa
diterima begitu saja, tetapi semua hal perlu dipertanyakan.
Para konselor eksistensial juga mengadopsi metode fenomenologis dalam
pendekatan mereka pada konseling dan psikoterapi. Mereka akan berupaya
menyampingkan prasangka dan teori tentang teman sesama manusia mereka, tentang
hal yang membuat konseli terganggu dan apa yang terbaik baginya. Dengan begitu,
konselor tetap menyediakan bagi konseli suatu cara sedemikian rupa sehingga
konselor bisa mendengar keprihatinan konseli dari perspektif konseli ketimbang
perspektif mereka. Dengan hanya tetap bersama apapun yang ditunjukan konseli,
dengan feenomena, dan tidak mencari penyebab atau penjelasan, konselor dan
konseli secara perlahan akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
pengalaman konseli (Palmer, 2011:134).
C. Tokoh Teori Filsafat Eksistensialisme
1.
Soren Aabye Kiekeegaard (1844-1900)
Sebagai bapak filsafat eksistensialisme
yang memberikan pengaruh besar terhadap munculnya filsafat eksistensialisme
di abad ke-20. Karya-karyanya yang belum masyhur di abad ke-19 karena ia
menulis dalam bahasa Denmark yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Jerman dan
dikenal oleh banyak orang setelah kewafatannya. Pada inti pemikirannya adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekanan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan (Abidin,2000:45).
2.
Karl Jaspers (1883-1969)
Ia mengatakan bahwa fisafat bertujuan mengembalikan manusia kepada
dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang
menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif
itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran
Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi (Abidin, 2000:47).
3.
Martin Heidegger (1889-1976)
Merupakan seorang pemikir yang ekstrim,
hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemkiran Heidegger. Pemikiran
Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger
pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”. Inti pemikirannya
adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang
berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka (Abidin, 2000:49).
4.
Jean Paul Sartre (1905-1980)
Ia adalah seorang atheis yang memiliki paham eksistensialis. Jika
cara berfikir Soren Aabye Kierkegaard masih kental dengan cara berfikir seorang
kristen maka, cara berfikir Jean Paul Sarte merupakan cara berfikir seorang
atheis. Tidak heran lagi jika dalam pemikirannya Sarte menyatakan bahwa
eksistensi mendahului esensi. Jika dalam pencitaan sesuatu maka kita perlu menciptakan konsep
yang merupakan esensi dari benda tersebut dan benda yang sudah diciptakan
tersebut kita sebut sebagai eksistensi. Karena Sarte merupakan seorang atheis
maka dalam pandangannya tidak ada yang menciptakan manusia dan tidak ada yang
mengkonsep manusia sebelum mereka diciptakan karena Tuhan menurut Sarte adalah
“tidak ada” (Abidin, 2000:50).
Dan pemikirannya menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri (Surajiyo, 2005:124).
D. Struktur Pembahasan Filsafat Eksistensialisme
1.
Konsep Dasar Filsafat Eksistensialisme
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran
dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari
kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada
akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers
dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya
mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self
(diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat,
individualitas dan sejenisnya.
Abraham Maslow yang terkenal dengan
teori aktualisasi diri di lahirkan di New York pada tahun 1908. Ia
meninggal di Calivornia pada tahun 1970. Maslow seorang anak yang pandai
mejalani hubungan yang baik dengan ibunya yang otoriter yang sering kali
melakukan tindakan aneh. Ia menggambarkan dirinya pada masa kecil sebagai
seorang yang pemalu, kutu buku dan neurotic. Tetapi, Maslow tidak
selamanya menjadi neurotic dan benci pada dirinya sendiri. Ia sepenuhnya
menyadari potensinya, dan menjadi psikilog humanisme terkenal yang mengispirasi
banyak perubahan masyarakat kearah yang positif. Dalam mengembangkan teorinya,psikologi humanistik sangat memperhatikan
tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi
dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat
dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi,
tujuan dan pemaknaan.
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan
psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya
telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang,
yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Menurut Maslow,
yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada
berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”.
Pendekatan ini melihat kejadian bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut
sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistic
biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Psikologi eksistensial humanistic
berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang
menekankan pada pemahaman atas manusia alih–alih suatu system teknik–teknik
yang digunakan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial
bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi–terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep–konsep dan
asumsi–asumsi tentang manusia.
Teori dan Pendekatan Konseling Eksistensial-Humanistic
berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang
menekankan pada pemahaman atas manusia. Terapi eksistensial berpijak
pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan
dan tanggung jawab berkaitan. Pendekatan Eksistensial-Humanistic
dalam konseling menggunakan sistem teknik-teknik yang bertujuan untuk
mempengaruhi konseli.
Pendekatan terapi Eksistensial-Humanistic
buka merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang semuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia.
Pendekatan ini Berfokus
pada sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri,
bebas memilih untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab,
kecemasan sebagai suatu unsur dasar, pencarian makna yang unik di dalam dunia
yang tak bermakna, berada sendiri dan berada dalam hubungan dengan orang lain
keterhinggaan dan kematian, dan kecenderungan mengaktualkan diri. Pendekatan
ini memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi, yakni tentang
penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain dalam proses
teurapeutik.
Terapi eksistensial-humanistic
menekankan kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan kesadaran diri sebelum
bertindak. Kesadaran
diri berkembang sejak bayi. Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan
keunikan masing-masing individu. Berfokus pada saat sekarang dan akan menjadi
apa seseorang itu, yang berarti memiliki orientasi ke masa depan.
Maka dari itu, akan lebih meningkatkan kebebasan
konseling dalam mengambil keputusan serta bertanggung jawab dalam setiap
tindakan yang di ambilnya (Corey (2005: 53-54).
Menurut Gerald Corey, (2005:54-55) ada beberapa konsep utama
dari pendekatan eksistensial yaitu :
a.
Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya
sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu
berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka
akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.
Kesanggupan untuk memilih alternatif–alternatif yakni
memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang
esensial pada manusia.
b.
Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat
menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial
juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan
yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting
bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan
individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk
mengaktualkan potensi–potensinya.
c.
Penciptaan Makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan
hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan.
Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya
dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional.
Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan
kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk
mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya sampai
taraf tertentu.
2.
Hakekat Manusia
Fokus yang sekarang menjadi arah pendekatan eksistensial adalah rasa
kesendirian di dunia dan usaha menghadapi kecemasan akan isolasi ini. Daripada
berusaha untuk mengembangkan aturan-aturan bagi terapi, maka sebagai gantinya
para praktisi eksistensial berusaha keras untuk memahami pengalaman
manusia yang dalam ini.
Pandangan eksistensial akan sifat manusia ini sebagian dikontrol
oleh pendapat bahwa signifikansi dari keberadaan kita ini tak pernah tetap,
melainkan kita secara terus menerus mengubah diri sendiri melalui proyek-proyek
kita. Manusia adalah makhluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang,
membentuk diri dan menjadi sesuatu.
Menjadi seseorang berarti pula bahwa kita menemukan sesuatu dan menjadikan
keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar (Abidin, 2000:133).
E. Ruang Lingkup Filsafat Eksistensialisme
dan Hubungannya dengan Bimbingan Dan Konseling
1.
Hakikat Konseling
Hakikat konseling eksistensial-humanistic
menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Eksistensial-humanistic
berdasarkan pada asumsi bahwa kita bebas dan bertanggung jawab atas pilihan
yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan. Yang paling diutamakan
dalam konseling eksistensial-humanistic adalah hubunganya dengan konseli.
Kualitas dari dua orang yang bertatap muka dalam situasi konseling merupakan
stimulus terjadinya perubahan yang positif (Rahmasari, 2012:35).
2.
Tujuan Konseling
Menurut Gerald Corey, (2005:56) ada beberapa tujuan
terapeutik yaitu :
Agar konseli mengalami keberadaannya
secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi–potensi serta
sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya.
Keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial
pokok”.
a.
Terdapat tiga karakteristik dari
keberadaan otentik :
1) Menyadari
sepenuhnya keadaan sekarang,
2) Memilih
bagaimana hidup pada saat sekarang, dan
3) Memikul
tanggung jawab untuk memilih.
b.
Meluaskan kesadaran diri konseli, dan
karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan
bertanggung jawab atas arah hidupnya.
Membantu konseli agar
mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan
menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan-kekuatan deterministic
di luar dirinya.
3.
Karakteristik Konseling
Adapun karakteristik dari terapi eksistensial
humanistic adalah sebagai berikut:
a.
Eksistensialisme
bukanlah suatu aliran melainkan suatu gerakan yang memusatkan penyelidikannya
manusia sebagai pribadi individual dan sebagai ada dalam dunia (tanda sambung
menunjukkan ketidak terpisahan antara manusia dan dunia).
b.
Adanya dalil-dalil yang melandasi yaitu:
1) Setiap
manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi
dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia.
2) Manusia
sebagai pribadi tidak bisa dimengerti ddalam kerangka fungsi-fungsi atau
unsur-unsur yang membentuknya.
3) Bekerja
semata-mata dalam kerangka kerja stimulus respons dan memusatkan perhatian pada
fungsi-fungsi seperti penginderaan, persepsi, belajar, dorongan-dorongan,
kebiasaan-kebiasaan, dan tingkah laku emosional tidak akan mampu memberikan
sumbangan yang berarti kepada pemahaman manusia (Nurihsan, 2003:98).
F. Pandangan Islam tentang Eksistensi Manusia
An-Nahlawi
(1996:37-46) dalam Neiviyarni (2009:42-48) mengemukakan bahwa manusia menurut
pandangan Islam sesuai dengan hakikatnya, dapat dipahami dari aspek-aspek
berikut.
1.
Asal-usul
penciptaan manusia
Manusia bersumber dari dua asal, yaitu: (1) asal yang ‘jauh’, penciptaan pertama dan tanah yang kemudian
disempurnakan dan ditiupkan ruh-Nya kepada manusia tersebut; (2) asal yang
‘dekat’, penciptaan manusia dari nuthfah. Untuk menjelaskan kedua asal
tersebut Allah berfirman dalam Al-Qur’an, diantaranya:
a.
Q.S As-Sajdah
(32): 7-9
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ
مِنْ طِين ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (٨) ثُمَّ
سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ
وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (٩) {السجدة ٩٧}
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Depag, 2004:415).
b.
Q.S Al-Mukminun
(23): 12-14
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ(۱۲(ثُمَّ جَعَلْنَاهُ
نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ
عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا
فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
{المؤمنون: ١٢١٤}
“Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.emudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik” (Depag, 2004:342).
c.
Q.S Az-Zumar
(39): 6
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الأنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ فِي
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلاثٍ ذَلِكُمُ
اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ(٦)
{الزمر: ٦}
“Dia menciptakan kamu dari
seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan
untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan
kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat)
demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada
Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (Depag, 2004:459).
Dalam Al-Qur’an
pandangan manusia diarahkan pada kehinaan, hal ini ditujukan untuk menghancurkan
kecongkakan manusia dan melemahkan ketakaburannya, sehingga dia benar-benar tawadhu
dalam kehidupannya.
2.
Makhluk yang
dimuliakan
Manusia
dianugerahi Allah dengan kemampuan yang dapat digunakannya untuk menguasai alam
semesta demi kemaslahatan manusia. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
a.
Q.S Al-Isra’
(17): 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا
بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (٧٠)
{الإسراء:٧٠ }
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan” (Depag,
2004:282).
b.
Q.S Al-Hajj
(22): 65
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ
سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ
وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الأرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
{الحج:٦٥ }
“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah
menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan
dengan perintah-Nya. dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia”
(Depag, 2004:340).
3.
Makhluk
Istimewa dan Terpilih
Allah memberikan kemampuan untuk
membedakan yang baik dengan yang buruk, dan kemampuan memilih kepada manusia.
Manusia diberi kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan dan keburukan,
sehingga mampu memilih jalan mengantarkannya pada kebaikan dan kebahagiaan,
atau jalan yang membawanya pada kebinasaan. Manusia harus berupaya menyucikan,
mengembangkan, dan meninggikan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan.
Sesuai dengan firman Allah dalam Al_Qur’an Q.S Asy-Syams (91): 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا(٧) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(٨) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا(٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(١٠) {الشمس:١٠–٧}
“Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Depag, 2004:595).
4.
Makhluk yang
Dapat Dididik
Manusia
dibekali Allah dengan kemampuan untuk belajar dan memiliki pengetahuan, serta
menganugerahinya dengan berbagai sarana untuk itu. Seperti penglihatan,
pendengaran, bahasa, berpikir dan menulis. Dengan akal dan hatinya manusia
mengolah alam untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal
tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya:
a.
Q.S Al-Baqarah
(2): 31-32
وَعَلَّمَ آدَمَ
الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي
بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(۳۱) قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ
لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
٣۱}-{البقرة:
۳۲ (۳۲)
الْحَكِيمُ
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!".Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Depag, 2004:6).
b. Q.S Al-A’raf (7): 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(۱۷۹) {الأعراف:١٧٩ }
“Dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” (Depag, 2004:174).
5.
Tanggung Jawab
Manusia
Sesuai dengan
kemuliaan, keunggulan, dan keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, manusia
pun dibebani tanggung jawab yang disertai balasan yang setimpal. Menurut ajaran
Islam, manusia diberi tanggung jawab untuk menerapkan syariat Allah dan menjadi
hamba-Nya. Rasa tanggung jawab an terpelihara dalam diri manusia yang sadar,
selalu ingat, adil, tidak menyeleweng, tidak tunduk pada hawa nafsu, jauh dari
kezalimandan kesesatan, istiqamah dalam berperilaku. Manusia juga diminta
bertanggung jawab atas harta, umur, dan kemuliaannya.
Sesuai dengan firman allah dalam
Al-Qur’an Q.S Al-Ahzab (33): 72-73
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا(۷۲)
لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ
وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(۷۳) {الأحزاب: ٧۳–٧۲}
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. Sehingga
Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang
musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Depag, 2004:427).
6.
Tugas Tertinggi
Manusia, Beribadah Kepada Allah
Beribadah kepada Allah merupakan
tugas manusia dalam hidup. Manusia sesungguhnya tidak berarti apa-apanya
dihadapan Allah, dan manusia bertanggung jawab untuk merendahkan diri dengan
cara selalu beribadah kepada-Nya. Semakin merendahkan diri dan semakin bertakwa kepada Allah, dia akan dapat karamah
dari Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Adz-Dzariyat (51): 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ(٥٦) {الذاريات:٥٦ }
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
(Depag, 2004:523).
G. Teknik Eksistensialisme dalam Layanan BK
Contoh Kasus :
1. Ini
adalah sebuah kasus tentang eksistensial yang menggambarkan perjuangan
seorang wanita dengan kesadaran dan kebebasan serta tanggung jawab dan
kecemasan yang dirasakannya ketika ia membuat keputusan-keputusan sehari-sehari
yang menyangkut cara yang diinginkan dalam mengarungi kehidupannya.
Ia
sekarang sering sekali menemukan dirinya bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan,
siapa sesungguhnya dirinya dan bagaimana sesungguhnya perasaan yang dia
rasakan. Emosi-emosi tidak mudah mucul, bahkan juga sekarang.perasaan-perasaan
cinta dan benci adalah sesuatu yang baru baginya, dan sering sangat menakutkan.
Sering ia menemukan kesulitan untuk bisa mendamaikan diri dengan fakta bahwa
suatu saat ia bisa kehilangan orang-orang yang ia kasihi, tetapi kemudian ia
menginginkan mereka pergi. Ketidakkonsistenan dan pertentangan antara
kebergantungan dengan kemandirian ini setiap kali membuat ia bingung. Kadang
kala ia berpikir bahwa akan lebih baik jika ia secara emosional tetap mati
seperti dulu. Setidaknya ia tidak merasa begitu skait. Akan tetapi, ia juga
tahu jika demikian, ia pun tidak benar-benar hidup.
Ia
mengaku bahwa hari ini ada seorang pria yang memeluknya, dan ia sejenak merasa
sangat hangat dan nyaman. Ia menyukai perasaan itu, tetapi juga takut. Perasaan
itu begitu asing bagi ia. Ia ingin menaruh kepercayaan, tetapi sangat sulit
untuk melakukannya. Barangkali halite disebabkan oleh adanya unsure resiko yang
tgerlibat dalam hubungan, dan ia tetap tidak mau mendengarkan dirinya menerima
resiko itu. Ia khawatir apakah ia akan mampu mengatasi segenap luka dan
kekecewaan masa lalu serta belajar hidup untuk hari ini.
Kadang-kadang,
ketika ia merasa sepi dan kehilangan, ia mencoba membayangkan, apa jadinya jika
ia tidak pernah menjalani konseling, jika ia tidak pernah memperoleh pemahaman
diri seperti yang sekarang ia miliki. Atau apa jadinya jika ia secara ajaib
bisa kembali ke tahap awal dari pertumbuhan emosional ketika ia merasa
terancam, dan mampu menetap disana. Maka ia tidak akan melihat keindahan dunia
nantinya, tidak akan mengetahui keberhasilan, juga tidak akan banyak memiliki
kedamaian pikiran,tetapi ia akan merasa lebih aman.ia mengaku bahwa
tekanan-tekanan yang dulumpernah ia rasakan tidak ada lagi dalam kehidupannya.
Meskipun
terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal, dikalangan konselor eksistensial
dan humanistic ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab
konselor. Menurut Buhler dan Allen, para ahlimpsikologi humanistic
memilih orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
a. Mengakui
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
b. Menyadari
peran dari tanggung jawab konselor.
c. Mengakui
sifat timbale balik dari hubungan terapeutik.
d. Berorientasi
pada pertumnuhan.
e. Menekankan
keharrusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu
pribadi
yang menyeluruh.
f. Mengakui
bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di
tangan konseli.
g. Memandang
konselor sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan
gaya hidup dan
pandangan humanisticnya tentangmanusia bisa secara implicit menunjukkan
kepada konseli potensi bagi tindakan kreatif positif.
h. Mengakui
kebebasan konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk
menegmbangkan
tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
i. Bekerja
kearah mengurangi kebergantungan konseli serta meningkatkan
kebebasan
konseli (Corey, 2005:60).
2. Adapun
contoh kasus pada zaman sekarang, penulis mengambil contoh seperti berikut.
Seseorang yang masa kecilnya merasa kurang kasih sayang dari orang
tua. Keadaan psikis nya tanpa disadari tertekan. Kemudian ia sering merasa
dibedakan dengan lingkungan sekitar. Seiring berjalannya waktu, iya pun
beranjak remaja. Sampai remaja pun perasaan itu selalu terbawa. Namun
disadarkan oleh konselor kepada keadaan dirinya seperti apa. Untungnya ia tidak
terjerumus pada hal-hal negatif. Kemudian untuk mengaktualisasikan dirinya, ia
sadar kelebihan dan kekurangan dirinya. Action nya sekarang ia mempunyai
motivasi tinggi untuk meraih cita-citanya. Realisasinya, ia merencanakan apa
yang akan ia kerjakan saat ini, besok, jangka pendek, jangka menengah, sampai
jangka panjang. Rencana tersebut disusun sesuai bakat dan minat yang ada pada
dirinya sesuai dengan cita-citanya.
Dalam layanan
Bimbingan dan Konseling, pemikiran eksistensial adalah bahwa kita selalu
berada dalam hubungan, kita hidup daalam ‘dunia dengan’. Dengan kata lain,
semua yang kita lakukan, katakan ,dan rasakan selalu terjadi dalam relasi
dengan orang lain. Pemahaman ini membuat kita mengakui bahwa di segala
interaksi ,kita selalu mempengaruhi.
Ketika konselor
dan konseli bertemu, mereka menjadi diri mereka dalam hubungannya satu sama
lain. Yang diungkapkan konseli kepada seorang konselor tidak selalu sama dengan
pengungkapan mereka pada konselor lain. Begitu juga dengan respons konselor
dalam hubungannya dengan konseli tertentu. Penekanan pada saling keterhubungan
ini berarti bahwa kita tidak dipandang memiliki dunia internal yang tetap dalam
kepala kita, namun lebih sebagai orang yang selalu berinteraksi dengan orang
lain. Dengan kata lain ,siapa diri kita disaat tertentu tidak bersemayam didalam
diri individu, namun ada ‘diantara’, antara kita dan orang lain, disitulah
terjadinya relasi (Palmer, 2011: 135).
Dalam kerangka filosofi eksistensial, tiap konselor bertanggung
jawab mengembangkan gaya kerja mereka sendiri. Terapi eksistensial
selalu menyerahkan kepada konseli untuk menentukan agenda setiap sesi
konseling. Konselor memberi konseli ruang dimana konseli bisa mengeksplorasi
pengalamannya. Konselor akan berupaya mengembangkan kepercayaan dan hubungan
yang saling peduli dimana konseli merasa cukup aman untuk mengungkapkan
dirinya. Usaha konselor untuk menemukan sesuatu tentang seperti apa kehidupan
itu bagi konseli, untuk mendapatkan kedekatan dengan pengalaman konseli.
Konselor menyampingkan ide apapun yang dipunyainya tentang hal apa yang baik
bagi konseli, karena konselilah yang memutuskan segala perubahan (Palmer, 2011:
136-137).
H. Simpulan
Dengan demikian Filsafat Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertangguang jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Eksistensialisme
mempersoalkan kebearadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat
kebebasan. Filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang muncul pada
abad ke-19 dan masyhur di abad ke-20. Sebab kemunculan filsafat yang satu ini
diakibatkan oleh ketidakpuasan para eksistensialis terhadap paham
Materialisme, Idealisme juga dikarenakan keadaan Eropa Barat pada saat itu.
Mendobrak paham Materialisme yang memandang kejasmanian sebagai keseluruhan
manusia, sedangkan jasmani hanyalah merupakan bagian dari manusia tanpa
memperdulikan bahwa manusia berfikir dan berkesadaran. Maka, paham eksistensialisme
hadir sebagai jalan keluar dan penengah antara keduanya. Filsafat eksistensialisme
menyatakan bahawa manusia merupakan obyek dan juga subjek.
Dan dalam
layanan BK Pemikiran eksistensial adalah bahwa kita selalu berada dalam
hubungan, kita hidup daalam ‘dunia dengan’. Dengan kata lain, semua yang kita
lakukan ,katakan ,dan rasakan selalu terjadi dalam relasi dengan orang lain.
Pemahaman ini membuat kita mengakui bahwa di segala interaksi ,kita selalu
mempengaruhi.
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. (2000). Filsafat Manusia , Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Corey, Gerald.
(2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung:
Refika Aditama
Departemen Agama RI. ( 2004). Al-Quran
dan Terjemahnya, Bandung: CV J-Art
Hambali, Adang.
(2013). Psikologi Kepribadian (lanjutan), Bandung: Pustaka Setia
Hartono,Soedarmadji.
(2012). Psikologi Konseling Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup
Neviyarni. (2009).
Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah Fil-Ardh, Bandung:
Alfabeta
Nurihsa, Juntika. (2003). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling,
Bandung :Mutiara
Palmer, Stephen. (2011). Konseling dan Psikoterapi ,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahmasari,Diana.(2012). Peran
Filsafat Eksistensialisme terhadap Terapi Eksistensial Humanistic untuk
Mengatasi Frustasi Eksistensial Volume 2 Nomor 2
Surajiyo, Drs. (2005). Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar),
Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar